Gede Expedition
Tak terasa, malam ini tepatnya tanggal 08 April 2009 pukul
22.00 WIB kami sudah bekumpul di terminal induk Raja Basa sebagai perjalan awal
kami menuju Cianjur. Bis AC terahir yang akan menuju pelabuhan bakau heni tidak
kami sia-siakan. Bis melaju sangat cepat hingga udara dingin AC tak
menghalangiku mengeluarkan keringat digin dan rasanya lelah kelopak mata yang
tak bisa berkedip akibat rasa takut yang mengarungi akan hal-hal buruk yang
suatu saat bisa terjadi dengan bis tua yang kami tumpangi, berbeda dengan
Lukman dan Bima yang tertidur lelap.
Malam ini bulan begitu terang,hampir bulat sempurna,ya bulat sempurna menjadikan perjalan dikapal tak begitu membosankan dengan hadirnya cahaya sang rembulan. Pukul 03.30 dini hari kapal fery yang kelihatanya sudah renta bersandar di pelabuhan Merak dan kami memutuskan untuk beristirahat sejenak di masjid menunggu waktu sholat subuh dan setelah itu kami beranjak menuju pangkalan bis jurusan Bandung dengan rute Puncak. Hari ini seluruh warga Indonesia akan berpesta demokrasi melalui pemilihan umum calon legislatif dan terbukti dengan sedikitnya bis yang ada di terminal dan aku harus bersyukur karena masih ada satu bis jurusan bandung rute puncak “garuda Pribumi”dan lagi-lagi kami menggunakan kendaraan yang umurnya tak lagi muda namun itulah satu-satunya dan semuanya tidak mengurangi rasa semangat kami. Dalam perjalanan ini kami bertiga selalu berteriak “Natural Crew” jika semangat kita mulai melemah agar kembali membara. Perjalan masih panjang dan kami bertiga terhanyut oleh masing-masing imajinasi tentang apa yang akan kita temui di gunung Gede Pangrango selain Bunga Edelweis yang banyak digemari karena Keabadiannya.
Siang hari pukul 13.30 kami tiba di Cibodas Cianjur dengan tubuh sedikit lemah karena perjalan panjang namun setelah kami memasuki kawasan cibodas tanpa perintah dan aba-aba kami bertiga kompak seraya mengeluarkan jaket dalam tas kami secepat mungkin seakan perang telah dimulai karena udara dingin telah menembus kulit dan akan menuju tulang kami. Tempat pertama yang kami singgahi adalah rumah teman lama Lukman yang akrab dipanggil Kang Jana. Kang jana menerima kehadiran kami dengan terbuka dan memberikan kita sedikit arahan untuk mendaki gunug Gede Pangrango, dan beliau mengusulkan untuk menggunakan jasa Guide. segala rupa sajian khas jawa barat kami nikmati bersama dengan keramahan keluarga kang jana di malam yang begitu dingin. Setelah berembuk kami bertiga sepakat untuk menggunakan jasa guide.
Kang Ipan, Putra kelahiran asli Cianjur tersebut akan menjadi teman kita selama pendakian berlangsung. Setelah sholat magrib kami bersiap-siap melakukan pendakian ke gunung Gede. Perjalanan yang dimulai pukul 19.30 ini tidak seperti biasanya, perjalan malam dengan kondisi badan lelah karena perjalanan jauh dan suhu dibawah 10 0C membuat kita hanya mampu berjalan sekitar 3 KM selama 1 jam diketinggian 1.575 mdpl (meter dari permukaan laut. Red) tepat diatas jembatan kayu kita sepakat untuk camp. Setelah tenda berdiri tegak, saya dan Bima pun tertidur lelap kecuali Lukman dan Kang Ipan yang asik mengobrol ditemani kabut dingin dan sinar rembulan yang kala itu tengah kelihatan sempurna.
Perjalan pagi dimulai setelah sholat subuh dan kami anggap bahwa sholat tersebut bagian dari pemanasan spiritual dan pemanasan tubuh agar otot-otot tidak keram saat melakukan perjalanan. Perjalan malam membuat kami merasa takjub akan suasana hening dan terang cahaya rembulan, tapi perjalanan pagi ternyata lebih menarik, karena kekuasaan Allah SWT dalam menciptakan segala sesuatu terlihat sangat sempurna.
Setiap langkah kelelahan karena beban berat yang harus dipikul belum lagi dengan medan berbatu alami menanjak yang kita lakukan dibayar tunai dengan keindahan sang “Gede”. Suara air terjun mengalir deras terdengar merdu ditambah dengan nyanyian burung-burung seakan memberikan irama kesejukan yang mampu menghilangkan penat dalam otak kita. Kami berhenti sejenak menikmati segarnya air terjun di shelter kandang batu dan tidak lupa kami mengabadikannya lewat foto.
Shelter demi shelter kita lalui, keindahan alam seperti air terjun air panas diketinggian 2.220 m. dpl, Kandang Batu dan Kandang Badak yang cocok untuk kegiatan berkemah dan pengamatan tumbuhan/satwa dan berada pada ketinggian 2.220 m. dpl, keindahan bunga-bunga anggrek yang tumbuh alami di pohon-pohon besar telah kami lewati dan tak terasa kita sudah berhadapan dengan tebing tinggi yang tegak menantang langit dan ini jalan satu-satunya bagi pendaki bernyali besar untuk melewatinya dan menuju puncak. Tebing yang kira-kira kemiringannya 850 dengan tinggi kurang lebih 30 meter ini disebut dengan “Tanjakan Rante”karena di tebing itulah terdapat tali untuk memudahkan pendaki melewatinya adapula pendaki yang tak sadar celetus mengatakan dengan logat dan bahasa sunda“ieu mah tanjakan setan, beurat euy..beurat..”. Lagi-lagi kami harus berhenti untuk mengumpulkan sisa tenaga yang kami miliki, tidaklah mudah untuk melewati tebing ini dengan tubuh lelah ditambah beban yang beratnya kira 50 Kg yang masing-masing melekat dalam punggung kami. Sebelum menaiki tebing, kami bertiga berteriak “Natural Crew” agar semangat terus timbul dalam hati kami.
Pukul 14.00 kami tiba di puncak gunung gede dengan ketinggian 2958 m.dpl dan kelopak mataku pun tak bisa berkedip bukan karena takut seperti di bis melainkan berbagai pemandangan yang begitu anggun menari-nari dihadapanku mengajak imajinasiku memasuki khayalan tertinggi. Menikmati Pemandangan kota Cianjur-Sukabumi-Bogor yang terlihat dengan jelas, tidak hanya itu, 3 kawah yang sempat memaku pandangan kami yaitu Kawah Lanang yang berada disisi kiri jalan setapak yang kami lewati ini, sementara Kawah Ratu dan Kawah Wadon disebelah kanan kawah ratu yang tanpa henti mengeluarkan asap belerang di tambah dengan hembusan angin dingin dan tiba-tiba awan gelap menyelimuti gunung ini yang menandakan hujan akan segera tiba, maka kami bergegas turun menuju alun-alun Surya Kencana yang kita rencanakan untuk tempat kita camp. Ada empat rute menuju gunung gede, Cibodas, Salabintana, Cipanas dan gunung puteri. Kami memilih rute cibodas yang banyak di pilih pendaki, meskipun rutenya agak sedikit terbalik karena kita harus melewati puncak terlebih dahulu dibandingkan alun-alun yang posisinya dibawah puncak. Dinginnya udara sore ini memaksa kita tak menghiraukan kelelahan dan harus mendirikan tenda agar istirahat terasa lebih nyaman.
Hujan tak kunjung datang, hanya awan gelap yang sejenak berhenti di puncak “Gede”, Maka waktu yang tersisa kami gunakan untuk mengambil air untuk memasak dan keperluan lainnya yang berjarak sekitar 40 m dari tenda kita berdiri. Sepulang dari mengambil air, masih ada waktu untuk sejenak mengamati bunga edelweis yang masih terkuncup malu karena belum waktunya untuk mekar.
Setelah sholat magrib kita berembuk membagi tugas untuk keperluan kita agar semuanya terasa ringan, Lukman dan bima bertugas mengambil foto Sun Rise yang artinya harus kembali menaiki terjalnya medan sepanjang lebih dari 300 m dengan gelap dan dinginnya fajar ala sang “Gede”. Tak begitu sulit tugas yang dilimpakan padaku yaitu mewawancara pendaki yang lain, “seberapa pedulikah mereka terhadap populasi Edelweis di Gunung Gede?”.
Dua dari lima pendaki Rangga 23 thn dan Jaja 20 thn mengaku pernah memetik bunga edelweis untuk dibawa pulang dengan alasan estetis, spiritual ataupun sekedar oleh-oleh kepada seseorang yang meraka anggap special, Padahal larangan keras telah dihimbau oleh petugas Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP) pada saat pendaki akan memasuki kawasan TNGP. Berbeda dengan Abdul Latif 23 tahun yang mendaki bersama 3 temannya dan kali ini adalah yang ke 9 kalinya abdul mendaki gunung gede. Saat diwawancarai di samping tendanya beliau menjelaskan kepeduliannya tentang gunung gede khusussnya edelweis“ “buat apa jauh-jauh kesini untuk ngambil edelweis, beli aja di blok M, Banyak ko yang jual disana” dengan gaya pencinta alam ia meneruskan pembicaraannya “ orang yang ngambil edelweiss dari gunung gede, itu bukan pencinta alam” Tegasnya, Adapun Vita 20 thn mengaku berkunjung ke Gede karena diajak oleh pacarnya dan saat ditanya mengenai seberapa besarkah kepedulian anda terhadap Edelweis?, “saya terharu melihat banyaknya pendaki yang mengambil bunga abadi itu, padahal kan itu menggangu populasinya. Saya gak akan ngamil soalnya udah punya dirumah, dikasih dari temen, paling sekarang mau ngambil fotonya aja” ujar mahasiswi Universitas pasundan ini.
Adapun kelompok komunitas cibodas yang menyelenggarakan pendakian nostalgia di gede karena kecintaanya komunitas ini terhadap gunung gede. Dedi, ketua penyelenggara kegiatan ini menuturkan sebanyak 125 orang anggota komunitas cibodas yang sekarang ikut mendaki dan mereka rata-rata berusia diatas 35 tahun dan 70% adalah pedagang alat-alat pendakian yang berdomisili di cibodas”. Kami akan melakukan kegiatan dengan sekaligus mengajak pendaki lain, diskusi malam dengan tema sampah di gunung gede, pemberitahuan tentang sumber mata air dengan bagaiman cara merawatnya, Tes product yang disponsori oleh salah satu merk sandal gunung serta kampanye operasi sampah (opsi) yang dilakukan sembari jalan pulang”. Ditemani dedi, aril yang juga anggota senior di komunitas tersebut menyampaikan kerisauannya tentang pendaki yang tidak peduli akan sampah serta pupolasi Edelweis yang menjadi icon di gunung gede.
Selain para pendaki yang aku wawancarai, Kang Ipan yang profesinya sebagai Guidepun banyak tahu tentang perkembangan Gunung Gede khususnya Edelweis, “ Tanggal 17 Desember 2006, Alun-alun surya kencana pernah terjadi kebakaran selama 2 hari di bagian barat alun-alun Utara dan populasi edelweis dan pohon Cantigi nyaris punah, Saat itu kami khawatir akan kehilangan Icon Gunung Gede dan hilangnya pencinta bunga Edelweis, tidak hanya manusia, ada beberapa jenis burung tertentu misalnya tiung batu licik yang sering mengunjungi bunga edelweis dan berbagai serangga seperti kutu, tirip, kupu-kupu, lalat, tabuhan dan lebah , kan kalo edelweisnya teu aya, burung jeung serangga teh teu aya juga “ujar ipan yang selalu memberikan informasi yang perlu diberikan kepada wartawan yang haus akan berita.
Bunga-bunganya sangat disukai oleh serangga, lebih dari 300 jenis serangga
Menurut informasi yang kami dapatkan di papan-papan info sepanjang Rute cibodas menuju puncak Gede, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) memiliki keanekaragaman ekosistem yang terdiri dari ekosistem sub-montana, montana, sub-alpin, danau, rawa, dan savana
Ekosistem sub-montana ditandai oleh banyaknya pohon-pohon yang besar dan tinggi seperti jamuju (Dacrycarpus imbricatus), dan puspa (Schima walliichii). Sedangkan ekosistem sub-alphin dicirikan oleh adanya dataran yang ditumbuhi rumput Isachne pangerangensis, bunga eidelweis (Anaphalis javanica), violet (Viola pilosa), dan cantigi (Vaccinium varingiaefolium).
Satwa primata yang terancam punah dan terdapat di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango yaitu Owa (Hylobates moloch), Surili (Presbytis comata comata), dan Lutung budeng (Trachypithecus auratus auratus) dan satwa langka lainnya seperti macan tutul (Panthera pardus melas), landak Jawa (Hystrix brachyura brachyura), kijang (Muntiacus muntjak muntjak), dan musang tenggorokan kuning (Martes flavigula).
Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango terkenal kaya akan berbagai jenis burung yaitu sebanyak 251 jenis dari 450 jenis yang terdapat di Pulau Jawa. Beberapa jenis diantaranya burung langka yaitu elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dan burung hantu (Otus angelinae).
Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfir pada tahun 1977, dan sebagai Sister Park dengan Taman Negara di Malaysia pada tahun 1995.
Ipan pun terus mengexplor informasi yang ia ketahui tentang salah satu dari Taman Nasional yang ada di pulau jawa ini, “ Bunga Edelweis teh biasana mekar pas bulan Juni, jadi kalo pengen liyat Edelweis anu sempurna, ya balik deui ka dieu pas bulan Juni, waktu anu pas untuk daki teh bulan juni sampe september”. Taman Nasional Gede Pangrango ini ditutup selama musim-musim hujan lebat, biasanya bulan Januari sampai Maret.
Edelweis mampu tumbuh hingga ketinggian 8 meter dan batang utamanya sebesar kaki manusia dewasa, memiliki daun tipis dengan panjang antara 4-6 cm dan terdapat bulu atau serat-serat seperti kapas. Setiap cabang yang memiliki kuncup bunga terdapat 40-50 helai daun sedangkan pada cabang yang belum tumbuh kuncup bunga memilki jumlah daun lebih sedikit yaitu sekitar 30-40 helai. Pada saat pengamatan, Bima menemukan daun yang sudah mengering dan kemungkinan karena rontok akibat manusia ataupun karena burung dan ketika daun tersebut di belah, di tengah-tengah daun tersebut dilihat menggunakan mata telanjang hanya mengandung serat seperti kapas yang mengakibatkan tidak akan busuk jika dikeringkan.
bagian tengah bunganya yang berwarna oranye dan kepala bunga yang menyerupai bunga aster. Menurut informasi yang kami dapat dari papan info, setelah dilakukan penelitian oleh Taman Nasional, Bunga Edelweis bisa mencapai umur lebih dari 100 tahun, untuk itulah disebut bunga abadi. Jenis ini tumbuhan perintis yang kuat dan mulai mendiami lereng yang tandus akibat kebakaran. Edelweis cocok tumbuh pada kondisi panas terik di daerah terbuka di kawah dan puncak, tidak bisa bersaing untuk tumbuh di hutan yang gelap karena kurangnya sinar matahari yang tidak mampu menembus rindangnya pohon-pohon besar dan udaranya lembab.
Bunga Edelweis juga terdapat dibeberapa gunung di Indonesia, Misalnya unung Papandayan, Rinjani,Simeru dan gunung yang ada di Lampung yaitu Gunung Pesagi. Terdapat sedikit perbedaan antar bunga edelweiss yang tumbuh di berbagai gunung, namun menurut penjelasan yang diketahui Ipan, Bunga Edelweis di Gede memiliki ukuran sedikit lebih Besar. Namun ada Edelweis yang cukup menarik karena memiliki warna yang berbeda yaitu merah, Edelweis merah ini terdapat di gunung Bromo.
Usai dari tugas, kami tidak menyia-nyiakan waktu yang tersisa untuk lebih dekat dengan alam pegunungan ini dengan menikmati hamparan padang rumput dan tumbuhan edelweiss tentunya. Kami menghirup udara yang begitu menyegarkan otak kami, oksigen yang tidak tercampur polusi ini mampu menghilangkan segala kepenatan yang masih melekat dalam hati kami. Masih belum puas kami bermain gila dengan air, Udara pada siang hari sekitar 8-15 0C dan air yang mengalir keluar dari mata air yang ada di alun-alun surya kencana ini memiliki suhu 5-8 oC, dengan suhu yang ada di area tersebut, kami memaksakan untuk mencoba mandi di aliran sungai kecil yang menjadi satu-satunya sumber air bagi para pendaki “Gede”. Diawali oleh Bima dan Lukman yang dengan gaya naturalnya berjalan mendekati sungai, seketika itu mereka berteriak seraya mengajak ku untuk bergabung, namun air yang sedang aku masak untuk mnghangatkan tubuh setelah mandi belum juga mendidih, dengan waktu kurang dari 5 menit, mereka sudah kembali dan mengajakku untuk bergabung, aku tak bisa menolak, karena aku akui terahir kami mandi di lampung. Sempat mengurungkan niat untuk mandi ketika melepas jaket, dinginnya kabut seakan-akan menggigit sekujur tubuh ku, Namun aku tak mau kalah oleh dua pimpinan natural itu, dan benar saja sekujur tubuhku terasa di aliri oleh aliran listrik bertegangan rendah yang mampu mengusirku dari air tak lebih dari satu menit, tulang ini terasa akan segera remuk dan darah ku terasa berhenti mengalir. Aku segera berlari menjauhi air yang kami sebut air listrik, terus berlari bolak-balik naik turun agar suhu badan meningkat hingga dalam keadaan normal dan tak lupa langsung meneguk air hangat yang telah ku siapkan, kerasnya tawa Lukman dan bima yang begitu senang melihatku mengalami penderiataan seperti mereka.
Tak terasa matahari hampir berada tepat di atas kepala kami yang menandakan kami harus segera packing dan beranjak meninggalkan alun-alun ini untuk menuju puncak dan kembali turun melewati rute-rute yang telah kami lewati saat mendaki. Tidak jauh berbeda dengan mendaki, menuruni gunung membutuhkan energi yang lumayan besar, apalagi kondisi fisik kami yang kurang terlatih ditambah beban yang kelihatannya tidak berkurang. Kadang aku harus melangkah seperti wanita agar tidak terpeleset atau tersangkut oleh suburnya akar-akar pohon dan tak jarang pula aku harus melompati sungai kecil, batang pohon besar yang menghalangi jalan dengan beban masih menempel, merunduk, menegakan badan, berlari layaknya calon Tentara Nasional yang sedang berlatih. Otot-otot kaki yang mulai melemah dan saat menapak, terasa kepingan-kepingan darah yang ada di telapak kaki pecah begitu terus berulang saat kakiku menapak dan akhirnya memaksakan kami untuk beristirahat sejenak di telaga biru yang kami lewatkan pada waktu pendakian, karena pada saat di telaga biru, kami mendaki pada malam hari dan pemandangan ini terhalang oleh gelapnya malam. Telaga biru, indahnya telaga ini, warna biru magis terpancar dari warna airnya yang terlihat begitu tenang, hanya suara aliran air yang terdengar, kami terhanyut oleh suasana dan tidak sadar kami terhipnotis oleh telaga ini, hampir sekitar tiga puluh menit kami duduk menatap indahnya ciptaan tuhan, padahal matahari sudah hampir menghilang. Kami bergegas melanjutkan perjalan dan tepat pukul 18.00 kami sampai pada pos terakhir.
Puas sudah hatiku dan kawan-kawan menjelajah,menikmati hingga mencari kehidupan edelweis sang gede ini, namun tulisan ini berahir selayaknya jika kami telah sampai pada tempat diman kita pertama kali melangkahkan kaki untuk memulai sejuta kisah ini.Cahaya kuning yang gemilang terlihat berubah makin gelap. sunset, ya sunset ini mulai nampak bagai lukisan langit di sore yang sendu ini, kami kembali melangkah di sepanjang pelataran taman cibodas yang di sisi-sisi jalannya di penuhi jejeran toko makanan, pakaian hingga alat-alat daki khas bercirikan gunung gede. Uang sisa yang kami miliki tak kami sia-siakan untuk menikmati panganan khas jawa barat dan sedikit oleh-oleh untuk kawan-kawan. Begitu harum teh hijau ini,hangat menyegarkan tubuh yang mulai tak enegrik.
Malam ini bulan begitu terang,hampir bulat sempurna,ya bulat sempurna menjadikan perjalan dikapal tak begitu membosankan dengan hadirnya cahaya sang rembulan. Pukul 03.30 dini hari kapal fery yang kelihatanya sudah renta bersandar di pelabuhan Merak dan kami memutuskan untuk beristirahat sejenak di masjid menunggu waktu sholat subuh dan setelah itu kami beranjak menuju pangkalan bis jurusan Bandung dengan rute Puncak. Hari ini seluruh warga Indonesia akan berpesta demokrasi melalui pemilihan umum calon legislatif dan terbukti dengan sedikitnya bis yang ada di terminal dan aku harus bersyukur karena masih ada satu bis jurusan bandung rute puncak “garuda Pribumi”dan lagi-lagi kami menggunakan kendaraan yang umurnya tak lagi muda namun itulah satu-satunya dan semuanya tidak mengurangi rasa semangat kami. Dalam perjalanan ini kami bertiga selalu berteriak “Natural Crew” jika semangat kita mulai melemah agar kembali membara. Perjalan masih panjang dan kami bertiga terhanyut oleh masing-masing imajinasi tentang apa yang akan kita temui di gunung Gede Pangrango selain Bunga Edelweis yang banyak digemari karena Keabadiannya.
Siang hari pukul 13.30 kami tiba di Cibodas Cianjur dengan tubuh sedikit lemah karena perjalan panjang namun setelah kami memasuki kawasan cibodas tanpa perintah dan aba-aba kami bertiga kompak seraya mengeluarkan jaket dalam tas kami secepat mungkin seakan perang telah dimulai karena udara dingin telah menembus kulit dan akan menuju tulang kami. Tempat pertama yang kami singgahi adalah rumah teman lama Lukman yang akrab dipanggil Kang Jana. Kang jana menerima kehadiran kami dengan terbuka dan memberikan kita sedikit arahan untuk mendaki gunug Gede Pangrango, dan beliau mengusulkan untuk menggunakan jasa Guide. segala rupa sajian khas jawa barat kami nikmati bersama dengan keramahan keluarga kang jana di malam yang begitu dingin. Setelah berembuk kami bertiga sepakat untuk menggunakan jasa guide.
Kang Ipan, Putra kelahiran asli Cianjur tersebut akan menjadi teman kita selama pendakian berlangsung. Setelah sholat magrib kami bersiap-siap melakukan pendakian ke gunung Gede. Perjalanan yang dimulai pukul 19.30 ini tidak seperti biasanya, perjalan malam dengan kondisi badan lelah karena perjalanan jauh dan suhu dibawah 10 0C membuat kita hanya mampu berjalan sekitar 3 KM selama 1 jam diketinggian 1.575 mdpl (meter dari permukaan laut. Red) tepat diatas jembatan kayu kita sepakat untuk camp. Setelah tenda berdiri tegak, saya dan Bima pun tertidur lelap kecuali Lukman dan Kang Ipan yang asik mengobrol ditemani kabut dingin dan sinar rembulan yang kala itu tengah kelihatan sempurna.
Perjalan pagi dimulai setelah sholat subuh dan kami anggap bahwa sholat tersebut bagian dari pemanasan spiritual dan pemanasan tubuh agar otot-otot tidak keram saat melakukan perjalanan. Perjalan malam membuat kami merasa takjub akan suasana hening dan terang cahaya rembulan, tapi perjalanan pagi ternyata lebih menarik, karena kekuasaan Allah SWT dalam menciptakan segala sesuatu terlihat sangat sempurna.
Setiap langkah kelelahan karena beban berat yang harus dipikul belum lagi dengan medan berbatu alami menanjak yang kita lakukan dibayar tunai dengan keindahan sang “Gede”. Suara air terjun mengalir deras terdengar merdu ditambah dengan nyanyian burung-burung seakan memberikan irama kesejukan yang mampu menghilangkan penat dalam otak kita. Kami berhenti sejenak menikmati segarnya air terjun di shelter kandang batu dan tidak lupa kami mengabadikannya lewat foto.
Shelter demi shelter kita lalui, keindahan alam seperti air terjun air panas diketinggian 2.220 m. dpl, Kandang Batu dan Kandang Badak yang cocok untuk kegiatan berkemah dan pengamatan tumbuhan/satwa dan berada pada ketinggian 2.220 m. dpl, keindahan bunga-bunga anggrek yang tumbuh alami di pohon-pohon besar telah kami lewati dan tak terasa kita sudah berhadapan dengan tebing tinggi yang tegak menantang langit dan ini jalan satu-satunya bagi pendaki bernyali besar untuk melewatinya dan menuju puncak. Tebing yang kira-kira kemiringannya 850 dengan tinggi kurang lebih 30 meter ini disebut dengan “Tanjakan Rante”karena di tebing itulah terdapat tali untuk memudahkan pendaki melewatinya adapula pendaki yang tak sadar celetus mengatakan dengan logat dan bahasa sunda“ieu mah tanjakan setan, beurat euy..beurat..”. Lagi-lagi kami harus berhenti untuk mengumpulkan sisa tenaga yang kami miliki, tidaklah mudah untuk melewati tebing ini dengan tubuh lelah ditambah beban yang beratnya kira 50 Kg yang masing-masing melekat dalam punggung kami. Sebelum menaiki tebing, kami bertiga berteriak “Natural Crew” agar semangat terus timbul dalam hati kami.
Pukul 14.00 kami tiba di puncak gunung gede dengan ketinggian 2958 m.dpl dan kelopak mataku pun tak bisa berkedip bukan karena takut seperti di bis melainkan berbagai pemandangan yang begitu anggun menari-nari dihadapanku mengajak imajinasiku memasuki khayalan tertinggi. Menikmati Pemandangan kota Cianjur-Sukabumi-Bogor yang terlihat dengan jelas, tidak hanya itu, 3 kawah yang sempat memaku pandangan kami yaitu Kawah Lanang yang berada disisi kiri jalan setapak yang kami lewati ini, sementara Kawah Ratu dan Kawah Wadon disebelah kanan kawah ratu yang tanpa henti mengeluarkan asap belerang di tambah dengan hembusan angin dingin dan tiba-tiba awan gelap menyelimuti gunung ini yang menandakan hujan akan segera tiba, maka kami bergegas turun menuju alun-alun Surya Kencana yang kita rencanakan untuk tempat kita camp. Ada empat rute menuju gunung gede, Cibodas, Salabintana, Cipanas dan gunung puteri. Kami memilih rute cibodas yang banyak di pilih pendaki, meskipun rutenya agak sedikit terbalik karena kita harus melewati puncak terlebih dahulu dibandingkan alun-alun yang posisinya dibawah puncak. Dinginnya udara sore ini memaksa kita tak menghiraukan kelelahan dan harus mendirikan tenda agar istirahat terasa lebih nyaman.
Hujan tak kunjung datang, hanya awan gelap yang sejenak berhenti di puncak “Gede”, Maka waktu yang tersisa kami gunakan untuk mengambil air untuk memasak dan keperluan lainnya yang berjarak sekitar 40 m dari tenda kita berdiri. Sepulang dari mengambil air, masih ada waktu untuk sejenak mengamati bunga edelweis yang masih terkuncup malu karena belum waktunya untuk mekar.
Setelah sholat magrib kita berembuk membagi tugas untuk keperluan kita agar semuanya terasa ringan, Lukman dan bima bertugas mengambil foto Sun Rise yang artinya harus kembali menaiki terjalnya medan sepanjang lebih dari 300 m dengan gelap dan dinginnya fajar ala sang “Gede”. Tak begitu sulit tugas yang dilimpakan padaku yaitu mewawancara pendaki yang lain, “seberapa pedulikah mereka terhadap populasi Edelweis di Gunung Gede?”.
Dua dari lima pendaki Rangga 23 thn dan Jaja 20 thn mengaku pernah memetik bunga edelweis untuk dibawa pulang dengan alasan estetis, spiritual ataupun sekedar oleh-oleh kepada seseorang yang meraka anggap special, Padahal larangan keras telah dihimbau oleh petugas Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP) pada saat pendaki akan memasuki kawasan TNGP. Berbeda dengan Abdul Latif 23 tahun yang mendaki bersama 3 temannya dan kali ini adalah yang ke 9 kalinya abdul mendaki gunung gede. Saat diwawancarai di samping tendanya beliau menjelaskan kepeduliannya tentang gunung gede khusussnya edelweis“ “buat apa jauh-jauh kesini untuk ngambil edelweis, beli aja di blok M, Banyak ko yang jual disana” dengan gaya pencinta alam ia meneruskan pembicaraannya “ orang yang ngambil edelweiss dari gunung gede, itu bukan pencinta alam” Tegasnya, Adapun Vita 20 thn mengaku berkunjung ke Gede karena diajak oleh pacarnya dan saat ditanya mengenai seberapa besarkah kepedulian anda terhadap Edelweis?, “saya terharu melihat banyaknya pendaki yang mengambil bunga abadi itu, padahal kan itu menggangu populasinya. Saya gak akan ngamil soalnya udah punya dirumah, dikasih dari temen, paling sekarang mau ngambil fotonya aja” ujar mahasiswi Universitas pasundan ini.
Adapun kelompok komunitas cibodas yang menyelenggarakan pendakian nostalgia di gede karena kecintaanya komunitas ini terhadap gunung gede. Dedi, ketua penyelenggara kegiatan ini menuturkan sebanyak 125 orang anggota komunitas cibodas yang sekarang ikut mendaki dan mereka rata-rata berusia diatas 35 tahun dan 70% adalah pedagang alat-alat pendakian yang berdomisili di cibodas”. Kami akan melakukan kegiatan dengan sekaligus mengajak pendaki lain, diskusi malam dengan tema sampah di gunung gede, pemberitahuan tentang sumber mata air dengan bagaiman cara merawatnya, Tes product yang disponsori oleh salah satu merk sandal gunung serta kampanye operasi sampah (opsi) yang dilakukan sembari jalan pulang”. Ditemani dedi, aril yang juga anggota senior di komunitas tersebut menyampaikan kerisauannya tentang pendaki yang tidak peduli akan sampah serta pupolasi Edelweis yang menjadi icon di gunung gede.
Selain para pendaki yang aku wawancarai, Kang Ipan yang profesinya sebagai Guidepun banyak tahu tentang perkembangan Gunung Gede khususnya Edelweis, “ Tanggal 17 Desember 2006, Alun-alun surya kencana pernah terjadi kebakaran selama 2 hari di bagian barat alun-alun Utara dan populasi edelweis dan pohon Cantigi nyaris punah, Saat itu kami khawatir akan kehilangan Icon Gunung Gede dan hilangnya pencinta bunga Edelweis, tidak hanya manusia, ada beberapa jenis burung tertentu misalnya tiung batu licik yang sering mengunjungi bunga edelweis dan berbagai serangga seperti kutu, tirip, kupu-kupu, lalat, tabuhan dan lebah , kan kalo edelweisnya teu aya, burung jeung serangga teh teu aya juga “ujar ipan yang selalu memberikan informasi yang perlu diberikan kepada wartawan yang haus akan berita.
Bunga-bunganya sangat disukai oleh serangga, lebih dari 300 jenis serangga
Menurut informasi yang kami dapatkan di papan-papan info sepanjang Rute cibodas menuju puncak Gede, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) memiliki keanekaragaman ekosistem yang terdiri dari ekosistem sub-montana, montana, sub-alpin, danau, rawa, dan savana
Ekosistem sub-montana ditandai oleh banyaknya pohon-pohon yang besar dan tinggi seperti jamuju (Dacrycarpus imbricatus), dan puspa (Schima walliichii). Sedangkan ekosistem sub-alphin dicirikan oleh adanya dataran yang ditumbuhi rumput Isachne pangerangensis, bunga eidelweis (Anaphalis javanica), violet (Viola pilosa), dan cantigi (Vaccinium varingiaefolium).
Satwa primata yang terancam punah dan terdapat di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango yaitu Owa (Hylobates moloch), Surili (Presbytis comata comata), dan Lutung budeng (Trachypithecus auratus auratus) dan satwa langka lainnya seperti macan tutul (Panthera pardus melas), landak Jawa (Hystrix brachyura brachyura), kijang (Muntiacus muntjak muntjak), dan musang tenggorokan kuning (Martes flavigula).
Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango terkenal kaya akan berbagai jenis burung yaitu sebanyak 251 jenis dari 450 jenis yang terdapat di Pulau Jawa. Beberapa jenis diantaranya burung langka yaitu elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dan burung hantu (Otus angelinae).
Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfir pada tahun 1977, dan sebagai Sister Park dengan Taman Negara di Malaysia pada tahun 1995.
Ipan pun terus mengexplor informasi yang ia ketahui tentang salah satu dari Taman Nasional yang ada di pulau jawa ini, “ Bunga Edelweis teh biasana mekar pas bulan Juni, jadi kalo pengen liyat Edelweis anu sempurna, ya balik deui ka dieu pas bulan Juni, waktu anu pas untuk daki teh bulan juni sampe september”. Taman Nasional Gede Pangrango ini ditutup selama musim-musim hujan lebat, biasanya bulan Januari sampai Maret.
Edelweis mampu tumbuh hingga ketinggian 8 meter dan batang utamanya sebesar kaki manusia dewasa, memiliki daun tipis dengan panjang antara 4-6 cm dan terdapat bulu atau serat-serat seperti kapas. Setiap cabang yang memiliki kuncup bunga terdapat 40-50 helai daun sedangkan pada cabang yang belum tumbuh kuncup bunga memilki jumlah daun lebih sedikit yaitu sekitar 30-40 helai. Pada saat pengamatan, Bima menemukan daun yang sudah mengering dan kemungkinan karena rontok akibat manusia ataupun karena burung dan ketika daun tersebut di belah, di tengah-tengah daun tersebut dilihat menggunakan mata telanjang hanya mengandung serat seperti kapas yang mengakibatkan tidak akan busuk jika dikeringkan.
bagian tengah bunganya yang berwarna oranye dan kepala bunga yang menyerupai bunga aster. Menurut informasi yang kami dapat dari papan info, setelah dilakukan penelitian oleh Taman Nasional, Bunga Edelweis bisa mencapai umur lebih dari 100 tahun, untuk itulah disebut bunga abadi. Jenis ini tumbuhan perintis yang kuat dan mulai mendiami lereng yang tandus akibat kebakaran. Edelweis cocok tumbuh pada kondisi panas terik di daerah terbuka di kawah dan puncak, tidak bisa bersaing untuk tumbuh di hutan yang gelap karena kurangnya sinar matahari yang tidak mampu menembus rindangnya pohon-pohon besar dan udaranya lembab.
Bunga Edelweis juga terdapat dibeberapa gunung di Indonesia, Misalnya unung Papandayan, Rinjani,Simeru dan gunung yang ada di Lampung yaitu Gunung Pesagi. Terdapat sedikit perbedaan antar bunga edelweiss yang tumbuh di berbagai gunung, namun menurut penjelasan yang diketahui Ipan, Bunga Edelweis di Gede memiliki ukuran sedikit lebih Besar. Namun ada Edelweis yang cukup menarik karena memiliki warna yang berbeda yaitu merah, Edelweis merah ini terdapat di gunung Bromo.
Usai dari tugas, kami tidak menyia-nyiakan waktu yang tersisa untuk lebih dekat dengan alam pegunungan ini dengan menikmati hamparan padang rumput dan tumbuhan edelweiss tentunya. Kami menghirup udara yang begitu menyegarkan otak kami, oksigen yang tidak tercampur polusi ini mampu menghilangkan segala kepenatan yang masih melekat dalam hati kami. Masih belum puas kami bermain gila dengan air, Udara pada siang hari sekitar 8-15 0C dan air yang mengalir keluar dari mata air yang ada di alun-alun surya kencana ini memiliki suhu 5-8 oC, dengan suhu yang ada di area tersebut, kami memaksakan untuk mencoba mandi di aliran sungai kecil yang menjadi satu-satunya sumber air bagi para pendaki “Gede”. Diawali oleh Bima dan Lukman yang dengan gaya naturalnya berjalan mendekati sungai, seketika itu mereka berteriak seraya mengajak ku untuk bergabung, namun air yang sedang aku masak untuk mnghangatkan tubuh setelah mandi belum juga mendidih, dengan waktu kurang dari 5 menit, mereka sudah kembali dan mengajakku untuk bergabung, aku tak bisa menolak, karena aku akui terahir kami mandi di lampung. Sempat mengurungkan niat untuk mandi ketika melepas jaket, dinginnya kabut seakan-akan menggigit sekujur tubuh ku, Namun aku tak mau kalah oleh dua pimpinan natural itu, dan benar saja sekujur tubuhku terasa di aliri oleh aliran listrik bertegangan rendah yang mampu mengusirku dari air tak lebih dari satu menit, tulang ini terasa akan segera remuk dan darah ku terasa berhenti mengalir. Aku segera berlari menjauhi air yang kami sebut air listrik, terus berlari bolak-balik naik turun agar suhu badan meningkat hingga dalam keadaan normal dan tak lupa langsung meneguk air hangat yang telah ku siapkan, kerasnya tawa Lukman dan bima yang begitu senang melihatku mengalami penderiataan seperti mereka.
Tak terasa matahari hampir berada tepat di atas kepala kami yang menandakan kami harus segera packing dan beranjak meninggalkan alun-alun ini untuk menuju puncak dan kembali turun melewati rute-rute yang telah kami lewati saat mendaki. Tidak jauh berbeda dengan mendaki, menuruni gunung membutuhkan energi yang lumayan besar, apalagi kondisi fisik kami yang kurang terlatih ditambah beban yang kelihatannya tidak berkurang. Kadang aku harus melangkah seperti wanita agar tidak terpeleset atau tersangkut oleh suburnya akar-akar pohon dan tak jarang pula aku harus melompati sungai kecil, batang pohon besar yang menghalangi jalan dengan beban masih menempel, merunduk, menegakan badan, berlari layaknya calon Tentara Nasional yang sedang berlatih. Otot-otot kaki yang mulai melemah dan saat menapak, terasa kepingan-kepingan darah yang ada di telapak kaki pecah begitu terus berulang saat kakiku menapak dan akhirnya memaksakan kami untuk beristirahat sejenak di telaga biru yang kami lewatkan pada waktu pendakian, karena pada saat di telaga biru, kami mendaki pada malam hari dan pemandangan ini terhalang oleh gelapnya malam. Telaga biru, indahnya telaga ini, warna biru magis terpancar dari warna airnya yang terlihat begitu tenang, hanya suara aliran air yang terdengar, kami terhanyut oleh suasana dan tidak sadar kami terhipnotis oleh telaga ini, hampir sekitar tiga puluh menit kami duduk menatap indahnya ciptaan tuhan, padahal matahari sudah hampir menghilang. Kami bergegas melanjutkan perjalan dan tepat pukul 18.00 kami sampai pada pos terakhir.
Puas sudah hatiku dan kawan-kawan menjelajah,menikmati hingga mencari kehidupan edelweis sang gede ini, namun tulisan ini berahir selayaknya jika kami telah sampai pada tempat diman kita pertama kali melangkahkan kaki untuk memulai sejuta kisah ini.Cahaya kuning yang gemilang terlihat berubah makin gelap. sunset, ya sunset ini mulai nampak bagai lukisan langit di sore yang sendu ini, kami kembali melangkah di sepanjang pelataran taman cibodas yang di sisi-sisi jalannya di penuhi jejeran toko makanan, pakaian hingga alat-alat daki khas bercirikan gunung gede. Uang sisa yang kami miliki tak kami sia-siakan untuk menikmati panganan khas jawa barat dan sedikit oleh-oleh untuk kawan-kawan. Begitu harum teh hijau ini,hangat menyegarkan tubuh yang mulai tak enegrik.
by. M. Arif Muhajir
0 komentar:
Post a Comment